Bab 5-Polisi dan Tentara Jerman

Diambil dari “Bagaimana Selanjutnya? Pertanyaan Vital bagi Kaum Proletar Jerman”, 1932.

Menghadapi ancaman nyata, kaum Sosial Demokrasi menggantungkan harapannya bukan pada ‘Front Besi’, melainkan pada polisi Prusia. Fakta bahwa banyak polisi yang direkrut dari kalangan pekerja Sosial Demokratik tak membuat keputusan ini benar. Kesadaran selalu ditentukan oleh lingkungan, juga dalam kasus ini. Pekerja yang menjadi polisi dalam sebuah negara kapitalis, adalah polisi borjuis, bukannya pekerja. Dalam tahun-tahun terakhir, polisi-polisi ini memerangi lebih banyak dengan pekerja revolusioner dibandingkan dengan pengikut-pengikut Nazi. Pelatihan seperti itu meninggalkan efek-efek yang khas. Dan, di atas segalanya: setiap polisi tahu bahwa meski pemerintah dapat berganti, polisi akan tetap bertahan.

[Catatan: ‘Front Besi’: sebuah blok yang terdiri dari beberapa organisasi-organisasi buruh terkemuka dan kelompok-kelompok borjuis 'republiken' yang memiliki sedikit atau tidak sama sekali prestise di antara massa. Blok ini dibentuk oleh Sosial Demokrat diakhir 1931. Kelompok tempur yang disebut Tinju Besi (Iron Fist) dibentuk dalam organisasi-organisasi ini, dan organisasi olahraga para pekerja digiring ke dalam Front Besi. Dalam parade dan reli awal merekai, ribuan pekerja mengangkat tangannya, meneriakkan ‘kebebasan’, dan bersumpah untuk mempertahankan demokrasi. Massa dalam partai Sosial Demokratik dan organisasi buruh percaya bahwa organisasi ini akan digunakan untuk menghentikan Hitler. Padahal tidak.]

Dalam isu Tahun Baru mereka, organ teoritis dari kubu Sosial Demokrasi, Dar Freie Wort (lembaran-lembaran yang buruk!) menerbitkan sebuah artikel yang mengagung-agungkan kebijakan ‘toleransi’. Hitler dilukiskan tak akan mampu menundukkan polisi dan Reichswehr [Tentara Jerman]. Berdasarkan konstitusi, Reichswehr berada di bawah komando presiden Republik Jerman. Karenanya, demikian mereka menyimpulkan, fasisme tidaklah berbahaya sepanjang pemerintahan dipegang oleh presiden yang taat pada konstitusi. Rezim Bruening harus didukung sampai pemilihan presiden sehingga presiden yang konstitusional bisa didapatkan melalui sebuah aliansi dengan borjuis parlementer; dan karenanya jalan Hitler ke kekuasaan akan tertutup untuk tujuh tahun....

[Catatan: Heinrich Bruening adalah kanselir dari 1930-32. Pemerintahan parlementer reguler di Jerman berakhir pada Maret 1930. Sesudahnya diikuti beberapa rangkaian rezim Bonapartist –contohnya, Bruening, von Papen, von Schleicher, kanselir-kanselir yang memerintah dengan tidak berdasar pada prosedur parlementer biasa, tetapi dengan prosedur ‘darurat’. Figur-figur Bonapartis ini menampilkan diri mereka sebagai penyelamat politik yang dibutuhkan negara dalam melewati krisis, dan selanjutnya di atas kelas dan partai. Mereka bergantung tidak hanya pada partai demokratis borjuis tetapi pada komando mereka terhadap polisi, tentara, birokrasi pemerintahan. Berpura-pura menyelamatkan negara dari bahaya baik dari baik kubu kiri (sosialis dan komunis) dan kanan (fasis), mereka melepaskan pukulan terkeras mereka pada pihak kiri, karena kepentingan utama mereka adalah menyelamatkan kapitalisme.]

Politikus-politikus reformis—para pemalas yang tuli, ahli intrik dan pemuja karier yang lihai, mesin-mesin kementerian dan parlementar yang canggih—terlempar dari kekuasaan mereka secara cepat bukan oleh rangkaian peristiwa-peristiwa yang terjadi. Bukan juga karena dihadapkan pada kontigensi mendesak. Namun lebih karena pencitraan diri mereka sendiri sebagai – tak ada ekspresi yang lebih sopan selain ini – mayat-mayat yang inkompeten.

Bergantung pada seorang presiden sama halnya dengan bergantung pada ‘pemerintah’! Dihadapkan pada bentrokan yang akan muncul antara proletar dan borjuis kecil fasis– dua kubu mayoritas di negara Jerman, Vorwaerts [koran utama sosial demokratik] berteriak pada para penjaga malam untuk memberikan bantuan pada mereka "Tolong! Pemerintah, gunakan kekuatan!" (Staat, greif zu!)

No comments: