Manifesto untuk Seni Revolusioner Independen

Ditandatangani oleh Andre Breton and Diego Rivera

Dipercayai bahwa Manifesto ini ditulis oleh Trotsky dan Andre Breton, meskipun ditandatangani oleh Rivera dan Breton.


Kita dapat mengatakan tanpa melebih-lebihkan bahwa tak pernah peradaban terancam seserius sekarang. Kaum Vandal, dengan instrumen barbar dan mandul mereka, pernah menyelimuti kebudayaan antik di salah satu sudut Eropa. Tapi hari ini kita menyaksikan peradaban dunia, disatukan oleh takdir historis mereka, menggelinding di bawah hantaman kekuatan reaksioner yang dipersenjatai dengan keseluruhan persenjataan teknologi modern. Sekali-kali kami tak hanya berfikir tentang perang dunia yang semakin mendekat. Bahkan di masa 'damai' posisi seni dan ilmu pengetahuan semakin tak bisa ditoleransi lagi.

Sejauh berasal dari individual, sejauh membawa bakat subyektif untuk menciptakan sesuatu yang membawa pengayaan obyektif atas budaya, penemuan filsafat, sosiologis, ilmiah dan artistik apapun merupakan buah dari kesempatan yang berharga; yang berarti, manifestasi, kurang lebih spontan, dari kebutuhan yang ada. Kreasi-kreasi tersebut tidak bisa dikerdilkan, baik dari sisi pengetahuan umum (yang memahami dunia yang ada) atau dari pengetahuan revolusioner (yang merubah dunia, membutuhkan analisa tajam atas hukum-hukum yang mengatur pergerakannya). Secara khusus, kita tak mungkin tak terpengaruh akan kondisi-kondisi intelektual di mana kegiatan kreatif berjalan, tak seharusnya juga kita gagal untuk memberikan penghormatan kepada hukum-hukum yang mengatur kreasi intelektual.

Dalam dunia dewasa ini kita harus menyadari kehancuran yang terus meluas pada kondisi-kondisi di mana kreasi intelektual dimungkinkan. Sebagai akibat dari kebutuhan dari sini muncul degradasi yang makin nyalang terhadap tidak saja karya seni namun juga kepribadian artistik yang spesifik. Berhasil membersihkan Jerman dari seniman-seniman yang karyanya menunjukkan sedikit simpati terhadap kebebasan, sedangkal apapun, Rezim Hitler telah menurunkan derajat mereka yang masih peduli untuk mengangkat pena atau kuas ke dalam status babu rezim, yang tugasnya adalah menyanjungnya dalam urutan, berdasarkan kesepakatan estetik terburuk yang mungkin ada. Jika kita bisa mempercayai laporan-laporan yang ada, hal yang sama terjadi di Uni Soviet, di mana reaksi Thermidorian tengah mencapai klimasknya.

Tak perlu menekankan lagi bahwa kami tak mengidentifikasi diri kami dengan slogan trendi masa kini, "Bukan fasisme bukan pula komunisme!" –sebuah dialek yang cocok dengan temperamen kaum filistin, konservatif dan penakut, yang bergantung kepada tumpukan masa lalu yang demokratis. Seni sejati, tak puas bermain variasi dari model yang ada namun bersikeras untuk mengekspresikan kebutuhan dalam manusia dan kemanusiaan di zamannya - seni sejati tak bisa tak menjadi revolusioner, tak bisa tak mengharapkan rekonstruksi radikal dan menyeluruh dari masyarakat. Ini harus dia lakukan, bahkan jika hanya untuk membebaskan kreasi intelektual dari rantai yang membelenggunya, dan mengizinkan seluruh kemanusiaan untuk mengangkat dirinya kepada tingkatan yang hanya mampu dicapai para jenius di masa lalu. Kami menyadari bahwa hanya revolusi sosial yang dapat membersihkan jalan bagi sebuah kebudayaan baru. Namun jika kami menampik segala jenis solidaritas dengan birokrasi yang berkuasa di Uni Soviet, ini persis karena, di mata kami, mereka tidak mewakili komunisme namun justru musuh paling berbahaya dan terjahatnya.

Rezim totaliter USSR, bekerja melalui apa yang disebut organisasi-organisasi kebudayaan yang dia kendalikan di negara-negara lain, telah memayungi seluruh dunia dengan senja kelam yang berbahaya bagi segala bentuk nilai spiritual; senja sampah dan darah di mana, disamarkan sebagai kaum intelektual dan artis, orang-orang membasuh dirinya, yang menjadikan perbudakan sebagai karir, dusta demi bayaran sebagai kebiasaan, penghalusan kejahatan sebagai sumber kesenangan. Seni resmi Stalinisme, dengan kenyalangan yang belum pernah ada dalam sejarah, mencerminkan usah-usaha mereka untuk memasang topeng indah bagi profesi bayaran mereka.

Kejijikan yang penyangkalan terhadap prinsip-prinsip seni ini inspirasikan dalam dunia artistik–penyangkalan yang bahkan negara-negara budak tak pernah coba bawa sejauh itu-akan memancing kutukan yang tegas dan aktif. Oposisi para penulis dan artis adalah satu dari sekian kekuatan yang dapat menyumbang pendiskreditan dan penumbangan rezim-rezim yang merusak, bersama dengan hak kaum proletar untuk berjuang demi dunia yang lebih baik, setiap perasaan kemuliaan dan bahkan martabat kemanusiaan.

Revolusi komunis tak gentar terhadap seni. Dia menyadari bahwa peran dari sang seniman dalam masyarakat kapitalis dekaden ditentukan oleh konflik antara diri individunya dan bentuk sosial beragam yang jahat terhadapnya. Fakta ini saja, sejauh dia sadari, menjadikan sang seniman sekutu alami revolusi. Proses sublimasi, yang mengambil peran di sini dan yang psikoanalisa telah telaah, berusaha untuk mengembalikan keseimbangan yang patah antara ego integral dan elemen-elemen luar yang dia tolak. Pengembalian ini bekerja bagi keuntungan 'diri ideal', yang bertempur melawan realitas sekarang yang tak tertanggungkan oleh semua kekuatan-kekuatan dunia dalam, sang 'id', yang ada pada seluruh umat manusia dan yang tumbuh dan berkembang tanpa henti. Kebutuhan akan emansipasi yang dirasakan oleh semangat individual harus mengikuti jalur alaminya untuk menggabungkan arusnya dengan kebutuhan dasar ini-kebutuhan akan emansipasi umat manusia.

Konsepsi fungsi penulis yang Marx muda kerjakan penting untuk ditengok kembali. "Penulis", katanya, "secara alami harus mencari uang untuk hidup dan menulis, tapi dia tak seharusnya dalam situasi apapun hidup dan menulis untuk mencari uang...Penulis tidak melihat karyanya sebagai alat. Karya adalah tujuan dalam dirinya sendiri dan demikian kecilnya nilai sebuah alat di matanya dan orang lain sehingga jika perlu dia mengkorbankan keberadaannya demi keberadaan karyanya...syarat pertama kemerdekaan pers adalah dia bukanlah kegiatan bisnis".

Jauh lebih sesuai dari sebelumnya untuk menggunakan pernyataan tersebut terhadap mereka yang menggerakkan kegiatan intelektual ke arah tujuan yang asing dari dirinya dan menulis resep, dalam penyamaran yang disebut sebagai alasan-alasan negara, tema-tema seni. Kebebasan menentukan tema dan ketiadaan segala batasan terhadap jangkauan penjelajahannya adalah harta yang sang seniman layak klaim sebagai keramat. Dalam wilayah kreasi artistik, imajinasi harus melepaskan diri dari semua hambatan dan tidak di bawah prasyarat apapun mengizinkan dirinya ditempatkan di bawah ikatan. Kepada mereka yang menyerukan kepada kami, baik sekarang atau di masa mendatang, untuk menerima bahwa seni harus menyerahkan diri ke dalam sebuah disiplin yang kami anggap secara radikal tak cocok dengan sifat asalinya, kami menyatakan penolakan tegas dan kami mengulang niat kami untuk berdiri bersama formula kebebasan penuh bagi seni.

Kami menyadari, tentu saja, bahwa negara revolusioner memiliki hak untuk membela dirinya terhadap serangan balik kaum borjuis, bahkan saat serangan tersebut membungkus dirinya dalam bendera ilmu pengetahuan atau seni. Tetapi terdapat jurang menganga antara tindakan sementara dan tegas ini dan pretensi untuk memerintah kreasi intelektual. Jika, bagi perkembangan yang lebih baik dari kekuatan produksi materiil, revolusi harus membangun rezim sosialis dengan kendali terpusat, demi mengembangkan kreasi intelektual sebuah rezim anarkis kebebasan individu harus dibangun dari awal. Tanpa otoritas, tanpa pendiktean, bahkan jejak perintah dari atas! Hanya dengan berdasar pada kerjasama perkawanan, tanpa hambatan dari luar, akan dimungkinkan bagi ilmuwan dan seniman untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, yang akan berdaya-jangkau luas dari yang pernah ada dalam sejarah.

Harus jelas sejak sekarang bahwa dalam membela kebebasan berfikir kami tak bermaksud untuk membenarkan ketidakpedulian politik, dan jauh dari keingingan kami untuk membangkitkan kembali apa yang disebut sebagai seni murni yang kebanyakan melayani tujuan yang paling tidak murni dari reaksi. Tidak, konsepsi kami atas peran seni terlalu tinggi untuk menolaknya sebagai sebuah kekuatan dalam nasib masyarakat. Kami percaya bahwa tugas besar seni di masa kita adalah mengambil bagian secara aktif dan sadar dalam persiapan revolusi. Namun sang artis tak dapat melayani perjuangan demi kebebasan kecuali dia secara subyektif mengasimilasi isi sosialnya, merasakan di dalam urat syaraf makna dan dramanya dan secara bebas berusaha memberikan manifestasi dunia dalam dirinya dalam seninya.

Pada masa sakaratul maut kapitalisme, baik yang demokratis maupun yang fasis, sang seniman melihat dirinya terancam oleh hilangnya haknya untuk hidup dan terus bekerja. Dia menyaksikan semua saluran komunikasi tercekik oleh debu keruntuhan kapitalisme. Adalah alami jika dia harus berpaling kepada organisasi-organisasi Stalinis yang memegang kemungkinan untuk melepaskan diri dari isolasi ini. Tapi jika dia bermaksud untuk menghindari demoralisasi penuh dia tak bisa tetap tinggal di sana, oleh sebab kemustahilan dalam menyampaikan pesannya dan kepatuhan merendahkan yang organisasi-organisasi tersebut tuntut sebagai imbalan dari beberapa keuntungan materiil. Dia harus memahami bahwa tempatnya ada di tempat lain, bukan di antara mereka yang mengkhianati tujuan revolusi, tapi di antara mereka yang dengan kesetiaan tak tergoyahkan bersaksi atas revolusi, di antara mereka yang, karena alasan tersebut, mampu menghasilkan buah, dan bersamanya ekspresi bebas dari segala bentuk kecerdasan manusia.

Tujuan dari seruan ini adalah untuk menemukan sebuah tempat bersama di mana semua penulis dan seniman revolusioner boleh disatukan kembali, lebih baik lagi untuk melayani revolusi melalui seni mereka dan membela kemerdekaan tersebut melawan pengkhianat revolusi. Kami percaya bahwa kecenderungan-kecenderungan politik, filosofism dan estetik dari bentuk yang paling berbeda dapat menemukan tempat bersama di sini. Kaum Marxis dapat berjalan bersama dengan kaum anarkis, sepanjang kedua belah pihak tanpa kompromi menolak semangat patroli polisi reaksioner yang diwakili oleh Joseph Stalin dan premannya Garcia Oliver.

Kita mengetahui dengan baik bahwa ribuan dari ribuan pemikir dan seniman terserak di seluruh penjuru dunia, suara mereka ditenggelamkan oleh nyanyian bersama pembohong yang terlatih dengan baik. Ratusan majalah lokal kecil tengah berusaha mengumpulkan kekuatan muda di sekitar mereka, mencari jalan-jalan baru dan bukannya subsidi. Setiap kecenderungan progresif dalam seni dihancurkan oleh fasisme sebagai 'kemunduran'. Setiap kreasi baru disebut fasis oleh kaum Stalinis. Seni revolusioner independen sekarang harus mengumpulkan kekuatan-kekuatannya untuk perjuangan melawan penindasan reaksioner. Dia harus memprokamirkan dengan lantang hak untuk ada. Persatuan dari kekuatan semacam itu adalah tujuan dari Federasi Internasional Seni Revolusioner Independen yang kami percaya sekarang perlu dibentuk.

Kami bukan berupaya memaksakan setiap ide yang diajukan dalam manifesto ini, yang kami sendiri anggap sebagai langkah pertama dalam arah ini. Kami meminta setiap kawan dan pembela seni, yang tak bisa tidak memahami perlunya seruan ini, untuk membuat dirinya didengar sekarang juga. Kami mengalamatkan seruan yang sama kepada semua penerbit kiri yang siap berpartisipasi dalam pembentukan Federasi Internasional dan mempertimbangkan tugas dan metode aksinya.

Saat hubungan internasional awal telah terbentuk melalui pers dan korespondensi, kita akan melanjutkannya kepada organisasi kongres-kongres lokal dan nasional dalam skala kecil. Langkah akhirnya adalah perancangan kongres sedunia yang akan secara resmi menandai pendirian Federasi Internasional.

Tujuan kita:

Kemerdekaan seni — bagi revolusi.

Revolusi — bagi pembebasan penuh seni!

Andre Breton
Diego Rivera

baca, belajar dan bergerak

akhirnya, setelah beberapa putaran waktu, terjemahanku atas pamflet trotsky melawan fasisme menemukan pemberhentiannya di http://www.marxists.org/indonesia/archive/trotsky/1944-Fasisme.htm
terjemahan ini sebelumnya pernah aku kirim ke situs-situs marxis lain. tapi rupanya pengelolanya sudah cuti luar tanggungan...hehehe. sempat juga aku kirimkan ke penerbit buku di jokja, tapi rupanya mereka sudah mual dengan karya-karya kiri klasik. beberapa waktu yang lalu aku publikasikan di blog buatanku sendiri ini.

tapi aku masih berharap terjemahan ini bisa dimuat di situs yang lebih populer supaya bisa dibaca, dipelajari dan diamalkan oleh lebih banyak orang. karena itu aku mencoba untuk menghubungi pengelola www.marxist.org. seksi bahasa indonesia. sambutan antusias datang dari kawan ted s. prague, pengelola baru seksi tersebut.

terjemahan ini disunting oleh orang yang sama. kolaborasi pertama dari kami. semoga ada yang selanjutnya.




Powered by ScribeFire.

Tentang Optimisme Revolusioner

Sumber: "On Revolutionary Optimism" (1901)
Penerjemah: Dewey Setiawan
-------------------------------------------------------------------------------------
Dum spiro spero! [Di mana ada hidup, di situ ada harapan!]...Jika saja aku adalah satu dari anggota kerajaan sorga, aku akan melihat dengan ketidaklekatan yang sempurna terhadap bola debu dan lumpur yang menyedihkan ini....Aku akan bersinar kepada kebajikan dan kejahatan tanpa pembedaan....Tapi aku anak manusia. Sejarah dunia yang bagimu, wahai pelahap ilmu pengetahuan, bagimu, wahai kutu buku abadi, hanya sebagai momen remeh dalam perjalanan waktu, bagiku adalah segalanya! Selama aku bernafas, aku akan bertempur untuk masa depan, masa depan gilang gemilang di mana umat manusia, kuat dan indah, akan menjadi tuan pengendali arus sejarahnya sendiri dan akan mengarahkannya menuju ke cakrawala keindahan, kegembiraan dan kebahagiaan yang tak terbatas! ...

Abad 19 telah memuaskan sang optimis dalam banyak segi dan mengkhianati harapannya dalam lebih banyak segi....Ini memaksanya untuk memindahkan kebanyakan dari harapannya ke abad 20. Kapanpun sang optimis dihadapkan pada fakta yang mengerikan, dia berteriak: Apa, dan ini bisa terjadi di gerbang abad 20! Saat dia menggambar lukisan indah masa depan yang indah, dia selalu menempatkannya pada abad ke 20.

Dan sekarang abad itu telah tiba! Apa yang dibawanya di permukaan?

Di Prancis--busa beracun kebencian rasial [referensi terhadap kasus Dreyfus ]; di Austria--perjuangan nasionalis...; di Afrika Selatan--penderitaan masyarakat kecil, yang dibantai kekuatan raksasa [Perang Boer]; di pulau "kebebasan" sendiri--hymne kemenangan bagi kerakusan kelas makelar jingois; "komplikasi" dramatis di timur; pemberontakan-pemberontakan massa yang lapar di Italia, Bulgaria, Rumania....Kebencian dan pembunuhan, kelaparan dan darah....

Seolah-olah abad baru ini, raksasa baru ini, dibelokkan persis pada momen kemunculannya untuk menggiring sang optimis ke dalam pesimisme absolut dan nirwana rakyat.

--Matilah Utopia! Matilah kepercayaan! Matilah cinta! Matilah harapan! hujat abad 20 dalam putaran meriam dan rentetan tembakan.

--Menyerahlah, wahai pemimpi yang menyedihkan. Inilah aku, abad 20 yang lama kau tunggu, masa depanmu.

--Tidak, jawab sang optimis yang tak tertaklukkan: Kau--Kau hanyalah masa kini.

Trotsky, 1901

Bab 7-Kejatuhan Demokrasi Borjuis

Diambil dari “Kemanakah Arah Prancis?”, 1934

Sesudah perang, serangkaian revolusi-revolusi penuh kemenangan hadir di Rusia, Jerman, Austria-Hungaria, dan selanjutnya di Spanyol. Tetapi hanya di Rusialah kaum proletar merebut kekuasaan penuh di tangannya, menghancurkan penghisapnya, dan tahu bagaimana untuk menciptakan dan mengelola negara pekerja. Di semua tempat lainnya kaum proletar, lepas dari kemenangan mereka, berhenti separuh jalan karena kesalahan kepemimpinan mereka. Akibatnya, kekuasaan lepas dari dari tangan mereka, bergeser dari kiri ke kanan, dan jatuh sebagai korban fasisme. Di negara-negara yang lain, kekuasaan jatuh ke tangan kediktatoran militer. Tak satupun parlemen yang mampu mendamaikan kontradiksi kelas dan menjanjikan perkembangan aksi-aksi damai. Konflik-konflik diselesaikan dengan jalan kekerasan.

Masyarakat Prancis berfikir dalam kurun waktu yang cukup lama bahwa fasisme tak mempunyai urusan apa-apa dengan mereka. Mereka memiliki sebuah republik yang di dalamnya semua pertanyaan dihubungkan dengan orang-orang kuat melalui implementasi hak pilih universal. Tetapi pada tanggal 6 Februari 1934, ribuan kaum fasis and royalis, berperang dengan revolver, tongkat pemukul, dan pisau, memperdaya negara dengan pemerintahan reaksioner Doumergue, yang di bawah perlindungannya kelompok-kelompok fasis terus tumbuh dan mempersenjatai dirinya. Apa yang bisa dipegang untuk hari esok?

[Catatan: Gaston Doumergue: perdana menteri Bonapartist Prancis. Menggantikan Edouard Daladier. Pemerintahan Daladier jatuh sehari sesudah kerusuhan fasis pada tanggal 6 February 1934.]

Tentu saja, di Prancis, seperti juga beberapa negara Eropa tertentu (Inggris, Belgia, Belanda, Swiss, negara-negara Skandinavia), parlemen, pemilihan umum, kemerdekaan demokratis, atau bagian-bagiannya tetap bertahan. Tetapi di semua negara ini, hukum historis yang sama akan berjalan, yaitu hukum kejatuhan kapitalis. Jika alat-alat produksi tetap berada di tangan sebagian kecil kapitalis, tak ada jalan keluar bagi masyarakat. Mereka dikutuk masuk dari satu krisis ke krisis yang lain, dari kebutuhan ke kesengsaraan, dari yang sudah buruk menjadi lebih buruk lagi. Di berbagai negara, kejatuhan dan disintegrasi kapitalisme terekspresi dalam beragam bentuk dan tempo yang tidak sama. Tetapi ciri-ciri dasar dari proses ini adalah sama di mana-mana. Kaum borjuis menggiring masyarakat kepada kebangkrutan penuh. Mereka tak mampu lagi meyakinkan masyarakat, baik tentang roti atau perdamaian. Inilah alasan kenapa mereka tak bisa lagi mentolerir keadaan yang demokratis. Mereka dipaksa untuk menghancurkan para pekerja dan petani melalui penggunaan kekerasan fisik. Namun kekecewaan para pekerja dan petani tidak bisa diselesaikan oleh semata-mata oleh polisi saja. Membuat tentara melawan rakyat juga tak selamanya berhasil. Seringkali pada akhirnya sejumlah besar tentara malah tergiring ke pihak rakyat.

Karena hal itulah kapital keuangan dipaksa membikin kelompok-kelompok tempur khusus, dilatih untuk memerangi para pekerja tak ubahnya anjing yang dilatih untuk berburu. Fungsi historis fasisme adalah untuk memukul kelas buruh, menghancurkan organisasi-organisasinya, dan merampas kemerdekaan politik ketika kaum kapitalis menyadari bahwa mereka tak mampu lagi untuk memimpin dan mendominasi dengan mesin demokrasi.

Kaum fasis mendapatkan sumber daya manusianya pada kaum borjuis kecil. Kaum borjuis kecil telah diruntuhkan oleh modal besar. Tak ada jalan keluar bagi mereka pada kondisi sosial saat ini. Kaum fasis membelokkan kekecewaan, hilangnya martabat, dan kesengsaraan kaum borjuis kecil kepada para pekerja. Fasisme adalah tindakan untuk menempatkan kaum borjuis kecil untuk menyingkirkan musuh kapitalis yang terpahit. Dengan cara ini, kaum pemilik modal besar meruntuhkan kelas-kelas menengah dan karenanya, dengan bantuan demagogi fasis bayaran, memprovokasi kaum borjuis kecil yang menderita untuk melawan para pekerja. Rezim kaum borjuis dapat dipertahankan hanya dengan alat-alat pembunuh seperti demikian. Untuk berapa lama? Sampai mereka digusur oleh revolusi proletar.

Bab 11-Bangun Partai Revolusioner!

Pada setiap diskusi politik, pertanyaan yang selalu muncul adalah: bisakah kita membentuk sebuah partai yang kuat pada masa krisis? Tidakkah kekuatan fasis mengantisipasi tindakan kita? Bisakah sebuah tahap perkembangan fasistik terprediksi?

Kesuksesan fasisme membuat rakyat kehilangan semua perspektif, menggiring mereka untuk melupakan kondisi-kondisi faktual yang telah memungkinkan penguatan dan kemenangan fasisme. Pemahaman yang jelas menyangkut kondisi-kondisi seperti ini bisa kita dapatkan dari pengalaman para buruh di Amerika Serikat. Kita dapat menjadikannya sebagai sebuah hukum historis: fasisme hanya mampu menang di negara-negara yang partai-partai buruh konservatifnya mencegah kaum proletar untuk menggunakan situasi revolusioner dan merebut kekuasaan. Di Jerman kita bisa menemui adanya dua situasi revolusioner seperti yang dimaksud: 1918-1919 dan 1923-1924. Bahkan di tahun 1929, sebenarnya perjuangan merebut kekuasaan pada tangan proletariat masihlah dimungkinkan. Pada tiga kasus ini, kekuatan sosial demokrasi dan komintern (Stalinis) secara keji menggagalkan perebutan kekuasaan, dan karenanya menempatkan masyarakat dalam sebuah kebuntuan. Hanya di bawah dan di dalam kondisi-kondisi seperti ini kebangkitan fasisme dan kemenangannya atas kekuasaan dimungkinkan terjadi.

***

Selama kekuatan proletariat terbukti tidak mampu, pada sebuah tahap tertentu, untuk meraih kekuasaan, imperialisme akan mulai menjalankan kehidupan ekonomi dengan metode yang dimilikinya; mekanisme politis yang diterapkan bertumpu pada kekuasaan negara yang ada di tangan partai fasis. Kekuatan produksi berada dalam pertentangan yang luar biasa tidak hanya dengan kepemilikan-kepemilikan pribadi tetapi juga dengan batasan-batasan negara kebangsaan. Imperialisme merupakan ekspresi aktual dari kontradiksi tersebut. Kapitalisme imperialis mencoba untuk menyelesaikan kontradiksi ini melalui suatu usaha perluasan batasan-batasan, perebutan wilayah-wilayah baru, dan sebagainya. Negara totalitarian, dengan menafikkan segala aspek-aspek ekonomis, politis, dan kehidupan budaya demi kapital keuangan, merupakan instrumen untuk menciptakan sebuah negara supernasionalis, kekaisaran imperialis, penguasa benua-benua, bahkan penguasa seluruh dunia.

Semua karakter-karakter kebebasan yang kita telah analisa, baik satu persatu maupun seluruhnya dalam sebuah totalitas, telah menjadi semakin jelas atau mengemuka.

Baik analisa teoritis maupun juga pengalaman sejarah yang kaya pada seperempat abad terakhir ini telah menunjukkan secara berimbang bahwa fasisme adalah hubungan terakhir dari rangkaian politik tertentu yang dibentuk antara lain oleh: krisis terparah dalam masyarakat kapitalis, perkembangan radikalisasi kelas pekerja, meningkatnya simpati terhadap kelas pekerja, keinginan akan perubahan pada pihak borjuis kecil pertanian dan urban, kebingungan luar biasa kaum borjuis, manuver licik kaum borjuis yang ditujukan demi menghindari revolusi; kelelahan dari kaum proletariat; bertambahnya kebingungan dan perbedaan; kemarahan terhadap krisis sosial; penderitaan yang dialami borjuis kecil, keinginannya akan sebuah perubahan; kegilaan kolektif kaum borjuis kecil, kesiapannya dalam mempercayai hal-hal yang ajaib, kesiapannya dalam mengambil tindakan kekerasan; perkembangan perlawanan terhadap proletariat, yang telah menipu harapannya. Kesemuanya adalah premis-premis dalam pembentukan partai fasis secara cepat beserta kemenangannya.

Terbukti dengan sendirinya bahwa radikalisasi kelas pekerja di Amerika Serikat hanyalah melewati fase-fase awal awal saja, cenderung eksklusif, dan dalam lingkup gerakan buruh. Periode sebelum perang dan perang sendiri terus-menerus menginterupsi proses radikalisasi ini, khususnya saat jumlah pekerja yang layak diperhitungkan terserap kedalam industri perang. Tetapi interupsi dalam proses radikalisasi ini tidaklah bisa berlangsung dalam waktu yang lama. Tahap kedua dalam radikalisasi akan menjamin ciri yang benar-benar lebih ekspresif. Masalah pembentukan partai buruh yang independen akan diletakkan atas dasar kebutuhan zaman. Tuntutan transisional kita akan meraih popularitas yang luar biasa. Di pihak lain, kaum fasis, tendensi-tendensi reaksioner akan menarik diri kebelakang, mengambil langkah defensif, sembari menunggu momen yang lebih tepat. Ini adalah perspektif yang paling dekat dengan kenyataan.

Tak ada pekerjaaan yang lebih tak berharga dari memikirkan apakah kita bisa berhasil membangun sebuah partai pelopor revolusioner yang kuat atau tidak. Di depan terbentang perspektif yang menguntungkan, yang menyediakan semua pembenaran terhadap aktivisme revolusioner. Adalah perlu untuk menggunakan kesempatan-kesempatan yang terbuka dan membangun partai revolusioner.

Bab 10-Harapan di Amerika Serikat

Dari “Beberapa Pertanyaan Menyangkut Masalah-Masalah Amerika”, Internasional Keempat, Oktober 1940.

Keterbelakangan kelas pekerja di Amerika Serikat bersifat relatif.
Dalam banyak sisi, mereka adalah kelas pekerja yang paling progresif di dunia, baik secara teknis dan dalam standar kehidupannya...

Pekerja-pekerja Amerika sangat siap tempur–seperti yang kita telah lihat selama pemogokan-pemogokan mereka. Mereka juga melakukan pemogokan yang paling hebat di dunia. Apa yang dilupakan oleh pekerja Amerika adalah semangat generalisasi, atau analisis, terhadap posisi kelasnya dalam masyarakat secara menyeluruh. Kekurangan dalam pemikiran sosial ini berakar pada sejarah negara tersebut...
Tentang fasisme.

Pada semua negara dimana fasisme menang, kita mengalami, sebelum pertumbuhan fasisme dan kemenangannya, sebuah gelombang radikalisasi massa– pekerja dan petani penggarap dan petani pemilik, dan kelas borjuis kecil. Di Italia, sesudah perang dan sebelum 1922, kita memiliki gelombang dimensi-dimensi revolusioner yang luar biasa; negara terpararelisasi, polisi tak lagi eksis, serikat-serikat pekerja dapat melakukan segala sesuatu yang mereka inginkan – tapi tidak ada partai yang mampu untuk merebut kekuasaan. Maka sebagai sebuah reaksi datanglah fasisme.

Di Jerman, hal yang sama terjadi. Kita memiliki sebuah situasi revolusioner pada tahun 1918; kelas borjuis bahkan tidak meminta untuk berpartisipasi dalam kekuasaan. Kaum sosial demokrat mempararelkan terjadinya revolusi saat itu. Sesudah itu para pekerja mencoba lagi pada tahun 1922-23-24. Tapi tahun-tahun itu adalah tahun kebangkrutan partai Komunis – yang di dalamnya kita mengulang semua yang terjadi sebelumnya. Dan pada tahun 1929-30-31, kalangan pekerja Jerman memulai lagi sebuah gelombang revolusioner baru. Terdapat kekuatan yang luar biasa pada kelompok komunis dan serikat-serikat pekerja, namun sesudah itu keluarlah kebijakan yang terkenal (sebagai bagian dari gerakan Stalinis) mengenai sosial fasisme, sebuah kebijakan yang dikeluarkan guna melumpuhkan kelas pekerja. Hanya sesudah tiga gelombang besar inilah fasisme menjadi gerakan yang masif. Tak ada yang menyangkal hukum ini – fasisme datang hanya saat kelas pekerja tidak mampu secara penuh untuk merebut nasib masyarakat pada tangannya.

Di Amerika Serikat kita mengalami hal yang sama. Saat ini sudah terdapat elemen-elemen fasis, dan, tentu saja, mereka telah mendapatkan model-model untuk gerakan mereka dari fasisme Italia dan Jerman. Oleh karenanya mereka akan berkembang dalam tempo yang lebih cepat. Tapi kita juga memiliki model-model dari negara-negara lain. Gelombang sejarah setelah ini di Amerika Serikat akan menjadi gelombang radikalisme massa, dan bukannya fasisme. Tentu saja, perang menghambat radikalisasi untuk beberapa waktu, tapi selanjutnya perang akan memberikan pada radikalisasi tersebut tempo dan peralihan-peralihan yang jauh lebih dahsyat. Kita jangan mengidentifikasi kediktatoran perang–kediktatoran mesin-mesin militer, pekerja, kapital keuangan–sebagai kediktatoran fasis. Bagi yang terakhir ini, pertama kali yang disyaratkan adalah terdapatnya perasaan putus asa dari massa yang besar dalam masyarakat. Saat partai-partai revolusioner mengkhianati mereka, saat ujung tombak pekerja menunjukkan ketidakmampuan untuk memimpin rakyat menuju kemenangan– maka para petani, usahawan kecil, pengangguran, prajurit, dan lain-lain menjadi mendukung gerakan fasis, tapi, sekali lagi, hanya jika pengkhianatan itu terjadi.

Sebuah kediktatoran militer murni merupakan institusi birokratis, dilesakkan oleh mesin militer dan didasarkan pada disorientasi masyarakat dan kepatuhan mereka terhadapnya. Beberapa waktu sesudahnya perasaan mereka dapat berubah dan mereka bisa memberontak pada kediktatoran tersebut.

Bab 9-Milisi Kelas Pekerja dan Musuh-Musuhnya

Diambil dari “Kemanakah Arah Prancis?”, 1934

Untuk berjuang, adalah perlu untuk menjaga dan memperkuat alat-alat perjuangan–organisasi, pers, pertemuan, dan lain-lainnya. Fasisme [di Prancis] mengancam kesemuanya secara langsung dan tiba-tiba. Mereka masih terlalu lemah untuk melakukan perjuangan kekuasaan secara langsung, tetapi mereka cukup kuat untuk merontokkan organisasi-organisasi kelas pekerja sedikit demi sedikit, memperhebat kelompok-kelompoknya serta serangan-serangannya, dan untuk menyebarkan kekecewaan serta ketidakpercayaan para pekerja pada kekuatannya.

Fasisme secara tidak sadar terbantu oleh mereka yang mengatakan bahwa perjuangan fisik adalah tidak dimungkinkan atau tak berpengharapan, serta menuntut Doumergue untuk melucuti senjata milisi fasisnya. Tak ada yang lebih berbahaya bagi kaum proletar, terutama untuk situasi saat ini, selain racun berasa gula dalam bentuk harapan-harapan yang salah. Tak ada yang meningkatkan keangkuhan kaum fasis begitu banyak seperti halnya ‘pasifisme lembek’ pada organisasi-organisasi pekerja. Tak ada yang merusak kepercayaan kelas-kelas menengah terhadap kelas pekerja selain keragu-raguan, pasifitas dan tidak adanya keinginan untuk bertarung.

Le Populaire [Koran Partai Sosialis] dan terutama l'Humanite [Koran partai Komunis] menulis setiap hari:

“Front persatuan adalah sebuah blokade dalam melawan fasisme...”;

“Front persatuan tidak akan membiarkan...”;

“Kaum fasis tidak akan berani”, dan sebagainya.

Kesemuanya adalah omong kosong. Perlu ditegaskan kepada para pekerja, kaum Sosialis, dan Komunis secara langsung: jangan biarkan dirimu diredam oleh omong kosong para jurnalis dan orator-orator yang dangkal. Ini adalah pertanyaan tentang hidup dan mati kita dan masa depan sosialisme. Kita bukannya mengingkari pentingnya front persatuan. Kami sudah menuntut hal ini jauh-jauh hari ketika para pemimpin kedua partai masih menolaknya. Front persatuan membuka banyak sekali kemungkinan, tapi hanya sebatas itu. Front terbuka semacam itu, dalam dirinya sendiri, tak akan menentukan apapun. Perjuangan massa-lah yang menentukan. Front terbuka baru akan terlihat gunanya jika kelompok komunis memberikan bantuan kelompok sosial demokrat vice a versa dalam kasus serangan oleh kelompok fasis terhadap Le Populaire atau l'Humanite. Tapi untuk itu, kelompok-kelompok tempur proletar haruslah ada dididik, dilatih dan dipersenjatai. Tanpa adanya sebuah organisasi pertahanan, seperti halnya milisi pekerja, Le Populaire atau l'Humanite mungkin masih mampu menulis artikel sesuka mereka dalam lindungan nama besar front persatuan, namun kedua koran tersebut akan segera menyadari betapa rapuhnya mereka saat mereka menghadapi serangan pertama kaum fasis yang dipersiapkan dengan baik.

Kami mengajukan studi kritis mengenai ‘argumen-argumen’ dan ‘teori-teori’ dari musuh milisi pekerja yang sangat beragam dan berpengaruh dalam dua partai kelas pekerja. Kita sering mendengar hal semacam ini:

“Kita membutuhkan pertahanan dan bukannya milisi”.

Tetapi apakah yang dimaksud dengan ‘pertahanan massa’ tanpa adanya organisasi-organisasi tempur, tanpa kader-kader khusus, tanpa senjata? Menyerahkan tanggung jawab pertahanan dalam melawan fasisme pada massa yang tidak terorganisir dan tak dipersiapkan sama dengan memainkan peran yang lebih rendah dari Pontius Pilatus. Menyangkal peran dari milisi sama halnya dengan menafikkan peran garda depan. Kenapa harus sebuah partai? Tanpa dukungan dari massa, milisi tak akan berarti sama sekali. Tapi, tanpa kelompok-kelompok tempur yang terorganisir, massa yang paling heroikpun akan dihancurkan bagian demi bagian oleh gang-gang fasis. Adalah omong kosong untuk mengkontradiksikan antara milisi dengan pertahanan. Milisi adalah sebuah organ pertahanan.

“Untuk membentuk organisasi milisi,” tukas para penentang yang, tentu saja, tidak serius dan jujur, “sama dengan melibatkan diri dalam provokasi.”

Ini bukanlah sebuah argumen, tapi penghinaan. Jika kebutuhan akan pertahanan dalam organisasi-organisasi pekerja berasal dari keseluruhan situasi, bagaimana bisa seseorang tidak membutuhkan pembentukan sebuah milisi? Mungkin mereka bermaksud untuk mengatakan pembentukan sebuah milisi ‘memprovokasi’ serangan dari kaum fasis dan represi pemerintah. Kalau yang dimaksud demikian, ini merupakan argumen yang benar-benar reaksioner. Liberalisme selalu mengatakan pada para pekerja bahwa dengan perjuangan kelasnya mereka memprovokasi sebuah reaksi.

Kubu reformis kerap mengulang tuduhan ini dalam melawan kaum Marxis, juga saat kaum Menshevik melawan kaum Bolshevik. Pemikiran awalnya adalah jika kaum tertindas tidak memulainya, maka kaum penindas tidak akan merasa berkewajiban memukul mereka. Ini adalah filosofi dari Tolstoy dan Gandhi tapi tak pernah sekalipun diungkap oleh Marx dan Lenin. Jika l'Humanite setelah ini ingin membangun doktrin non-resistance to evil by violence, mereka seharusnya tidak menggunakan palu dan arit sebagai simbolnya, emblem Revolusi Oktober, tapi kambing penurut, yang menyediakan susu bagi Gandhi.

“Tetapi mempersenjatai para pekerja hanyalah cocok dalam sebuah situasi yang revolusioner, yang belum datang saat ini.”

Argumen yang bijaksana ini sama saja dengan mempersilakan kaum pekerja untuk dibantai sampai situasi menjadi revolusioner. Mereka yang kemarin mengkhotbahkan tentang ‘periode ketiga’ enggan mempertimbangkan apa yang belum dan akan terjadi. Pertanyaan tentang mempersenjatai diri mengemuka sebab situasi ‘demokratis’, ‘normal’ dan ‘damai’ telah memberikan jalan bagi situasi yang ‘tak stabil’, ‘kritis’, dan ‘kacau’ yang dapat mentransformasikan dirinya kedalam situasi yang revolusioner, bahkan juga kontra revolusioner.

[Catatan: "Periode Ketiga ": berdasarkan susunan Stalinis, periode ini adalah ‘periode terakhir kapitalisme’, periode kematiannya yang segera datang dan penggeserannya oleh soviet. Periode ini diperhitungkan oleh komunis ultra-kiri dan taktik-taktik petualangan, khususnya konsep sosial fasisme.]

Pilihan ini bergantung terutama pada apakah pekerja maju akan membiarkan dirinya diserang tanpa ampun dan dikalahkan sedikit demi sedikit atau membalas setiap pukulan dengan dua kelengkapan mereka, yaitu meningkatkan keberanian kaum tertindas dan menyatukannya mereka dalam panji-panji mereka. Sebuah situasi yang revolusioner tidaklah jatuh dari langit. Situasi ini mengambil bentuknya melalui partisipasi aktif kelas revolusioner dan partainya.

Stalinis Prancis saat ini berargumentasi bahwa milisi tidaklah melindungi kaum proletar Jerman dari kekalahannya. Padahal baru kemarin mereka menyangkal kekalahan mereka di Jerman dan menegaskan bahwa kebijakan Stalinis Jerman benar dari awal sampai akhir. Sekarang mereka membebankan semua kesalahan pada milisi pekerja Jerman (Front Rote) [Front Tempur Merah: milisi yang didominasi kaum Komunis yang dilarang oleh pemerintahan Sosial Demokrasi setelah kerusuhan May Day, Berlin, pada tahun 1929]. Oleh sebab satu kesalahan, mereka terjatuh ke dalam sebuah pihak yang berlawanan secara diametris, yang tak kalah mengerikannya. Milisi, dalam dirinya sendiri, tidaklah menyelesaikan permasalahan. Sebuah kebijakan yang benarlah yang dibutuhkan. Sementara itu, kebijakan Stalinisme di Jerman (sosial fasisme adalah musuh utama), perpecahan dalam organisasi-organisasi buruh, percumbuan dengan nasionalisme, putschisme) menggiring secara fatal garda depan proletar pada isolasi dan keruntuhannya. Tanpa sebuah strategi yang berharga, tak akan ada milisi yang bisa menyelamatkan situasi.

Omong kosong jika, dalam dirinya sendiri, organisasi milisi akan terjerumus dalam petualangan, memprovokasi musuh, menggeser perjuangan politik menjadi perjuangan fisik, dan lain sebagainya. Semua omongan ini tak lebih dari sebuah kepengecutan politik belaka.

Barisan milisi, sebagai organisasi garda depan yang kuat, terbukti merupakan pertahanan yang paling pasti dalam melawan petualang-petualang politik, melawan terorisme individu, melawan ledakan-ledakan spontan yang berdarah.

Barisan milisi pada waktu yang sama merupakan satu-satunya cara yang serius untuk menurunkan sampai minimum terjadinya perang sipil yang kubu fasis paksakan pada kaum proletar. Biarkanlah para pekerja, lepas dari tidak adanya sebuah ‘situasi revolusioner’, meluruskan ‘patriot-patriot anak mama’ dengan cara mereka sendiri, dan niscaya rekrutmen kelompok-kelompok fasis baru akan menjadi lebih sulit.

Tapi para ahli strategi, dibingungkan dengan cara pikirnya sendiri, menyangkal kami dengan argumen-argumen yang lebih bodoh. Kami mengutipnya secara tekstual:
“Jika kita merespon tembakan revolver kaum fasis dengan tembakan revolver yang lain," tulis L'Humanite pada October 23 [1934], “Kita melupakan fakta bahwa fasisme adalah produk dari rezim kapitalis dan bahwa dalam perang melawan fasisme kita menghadapi keseluruhan sistem."

Tak ada kalimat-kalimat yang lebih membingungkan dan salah dari kalimat-kalimat di atas. Kita dilarang untuk membela diri atas serangan kaum fasis sebab mereka adalah ‘sebuah produk dari rezim kapitalis’. Ini berarti kita harus membatalkan semua perjuangan, karena semua kejahatan sosial dewasa ini adalah ‘produk-produk dari sistem kapitalisme’.

Saat kaum fasis membunuh seorang revolusioner, atau membakar habis gedung koran proletar, para pekerja diharapkan untuk mengeluh dengan cara yang terlalu filosofis: ‘Pembunuhan dan pembakaran adalah produk-produk dari sistem kapitalis’, dan pulanglah dengan hati yang tenang.

Kebusukan Fatalis menggantikan teori militan Marx demi keuntungan mendasar musuh kelas kita. Keruntuhan kaum borjuis kecil adalah, tentu saja, produk dari sistem kapitalisme. Pertumbuhan kelompok-kelompok fasis juga, sebagai konsekwensinya, adalah produk dari kehancuran kaum borjuis kecil. Tapi di pihak lain, peningkatan penderitaan dan perlawanan kaum proletar juga merupakan produk-produk dari kapitalisme, dan milisi pekerja, pada gilirannya, adalah produk dari makin tajamnya perjuangan kelas. Lalu kenapa, bagi kaum ‘Marxiss’ dalam l'Humanite, kelompok-kelompok fasis adalah produk yang sah dari kapitalisme dan milisi pekerja adalah produk yang tidak sah dari –kaum Trotskyis? Sulit untuk memahami ujung atau pangkal dari pernyataan ini.

“Kita harus berurusan dengan seluruh sistem,” demikian kita sering diberitahu.

Bagaimana? Di awang-awang? Kaum fasis di negara-negara yang berbeda memulainya dengan menggunakan revolver dan mengakhirinya dengan menghancurkan seluruh ‘sistem’ dalam organisasi-organisasi pekerja. Bagaimanakah kita bisa mengetahui serangan bersenjata musuh jika tidak dengan pertahanan bersenjata untuk, pada gilirannya, balas menyerang?

l'Humanite sekarang mengakui pentingnya pertahanan dalam tulisan-tulisan mereka, tetapi hanya dalam bentuk ‘pertahanan diri massa’. Milisi bersifat merugikan karena, seperti anda lihat, mereka memecah kelompok tempur massa. Tetapi kenapa terdapat detasemen-detasemen bersenjata independen diantara kaum fasis yang tidak terpisah dari massanya namun sebaliknya mengangkat keberanian dan kepercayaan massa tersebut dengan serangan-serangan mereka yang tersusun rapi? Atau mungkin massa pekerja lebih rendah kualitasnya dalam pertempuran dibandingkan dengan kaum borjuis kecil?

Terjerat dalam kebingungan, l'Humanite akhirnya mulai ragu-ragu dengan pendapatnya sendiri. Akhirnya muncullah pandangan bahwa pertahanan diri massa membutuhkan pembentukan ‘kelompok pertahanan diri’ khusus. Kelompok-kelompok dan detasemen-detasemen khusus diajukan untuk menggantikan konsep milisi yang ditolak.

Pada awalnya seolah-olah perbedaan yang ada hanya menyangkut soal istilah. Tak bisa disangkal, istilah yang diajukan oleh L'Humanite memang tak jelas artinya. Seseorang bisa mengajukan konsep ‘pertahanan diri massa’, namun tidak ‘kelompok pertahanan diri’, sebab tujuan dari kelompok tersebut bukanlah untuk membela dirinya sendiri tapi untuk membela organisasi-organisasi pekerja. Tetapi, tentu saja ini bukan soal istilah belaka. “Kelompok pertahanan diri”, menurut l'Humanite, harus menolak penggunaan senjata demi menghindari jatuhnya mereka kedalam “putschisme”. Orang-orang bijaksana ini memperlakukan kelas pekerja tak ubahnya seperti bayi yang harus dilarang memegang pisau di tangannya. Selain itu, seperti kita ketahui bersama, pisau adalah monopoli dari Camelots du Roi [kaum monarkis Prancis yang bergabung dengan koran Charles Maurras, ‘Action Francaise’, yang merupakan kubu anti demokratik dan seringkali menggunakan kekerasan], yang merupakan ‘produk sah dari kapitalisme’ dan, dengan bantuan pisau, telah menjungkalkan ‘sistem’ demokrasi. Lalu bagaimana ‘kelompok pertahanan diri’ membela dirinya dalam melawan revolver kaum fasis? “Secara ideologis,” tentu saja. Dengan kata lain: mereka bisa bersembunyi. Tanpa memiliki apa yang mereka butuhkan di tangan mereka, mereka harus mencari pertahanan diri di kaki mereka. Dan sementara itu kaum fasis meringkus organisasi-organisasi pekerja tanpa perlawanan. Tetapi jika kaum proletar menderita kekalahan yang hebat, ini sama sekali bukanlah kesalahan dari ‘putschisme’. Para pembual ini, berlindung dibawah panji-panji ‘Bolshevisme’, hanya menimbulkan kemuakan dan kebencian saja.

Selama ‘periode ketiga’ yang indah – saat pengatur-pengatur strategi l'Humanite terserang halusinasi, ‘menguasai’ jalan-jalan setiap hari dan mengutuk semua orang yang tidak bergabung dengan keekstravaganzaan mereka sebagai ‘sosial fasis’ – kami sudah memprediksikan: “Pada momen dimana tuan-tuan ini terbakar ujung-ujung jarinya, mereka akan menjadi oportunis terburuk yang pernah ada.” Prediksi ini sekarang telah digenapi sepenuhnya. Pada sebuah waktu dimana persetujuan tentang milisi semakin tumbuh dan menguat di dalam gerakan partai Sosialis, para pemimpin dari apa yang disebut sebagai partai Komunis lari ke pipa air untuk mendinginkan keinginan pekerja maju untuk mengorganisir dirinya dalam jalur-jalur tempur. Dapatkah seseorang membayangkan perbuatan yang lebih celaka dan terkutuk dari tindakan ini?

Dalam partai Sosialis sesekali keberatan semacam ini juga terdengar:

“Sebuah milisi memang harus dibentuk tapi tidak ada gunanya untuk mengumumkan tentang hal ini.”

Seseorang wajib menghargai kawan yang berharap untuk melindungi bagian praksis masalah dari mata dan telinga yang tidak berkepentingan. Tapi menjadi terlalu naif untuk berfikir bahwa sebuah milisi bisa diciptakan tanpa terlihat dan secara rahasia. Kita membutuhkan puluhan, dan selanjutnya ratusan, bahkan ribuan petarung. Ini bisa terwujud jika jutaan pekerja wanita dan pria, dan dibelakangnya para petani, memahami kebutuhan akan milisi dan menciptakan di sekeliling sukarelawan tersebut sebuah atmosfer simpati yang menggairahkan dan juga dukungan-dukungan aktif. Perhatian konspiratorial dapat dan harus menutup aspek-aspek teknis masalah tersebut. Namun kampanye politis harus dikembangkan secara terbuka, dalam pertemuan-pertemuan, di pabrik-pabrik, di jalan-jalan dan pada tempat-tempat berkumpulnya massa.

Kader-kader fundamental milisi haruslah terdiri dari pekerja-pekerja pabrik yang dikelompokkan menurut tempat kerja mereka, saling tahu satu sama lain dan mampu melindungi detasemen tempur mereka dalam melawan provokasi agen-agen musuh dengan lebih baik dan pasti dibandingkan birokrat-birokrat mumpuni sekalipun. Pekerjaan-pekerjaan konspiratif, tanpa mobilisasi terbuka massa, akan tertahan tanpa mampu berbuat apa-apa pada saat bahaya datang. Setiap organisasi pekerja harus menceburkan diri dalam pekerjaan ini. Khusus untuk masalah ini, mungkin tak diperlukan lagi garis demarkasi antara partai pekerja dan organisasi-organisasi buruh. Bersama-sama mereka harus memobilisasi massa. Dengan cara itu kesuksesan milisi rakyat akan terjamin penuh.

“Tapi darimanakah para pekerja akan mendapatkan senjatanya” sanggah sang ‘realis’ yang bijak—bisa dikatakan juga, kaum filistin penakut – “musuh memiliki senapan, meriam, tank, gas, dan pesawat udara. Para pekerja cuma memiliki ratusan revolver dan pisau saku.”

Keberatan semcam ini diangkat untuk menakuti para pekerja. Di satu pihak, mereka menyamakan senjata kaum fasis dengan senjata negara. Tapi di pihak lain, mereka menoleh kepada negara dan menuntut mereka untuk melucuti senjata kaum fasis. Logika yang luar biasa! Faktanya, posisi mereka pada kedua kasus sama-sama salah. Di Prancis, kaum fasis masih belum terlalu jauh mengontrol negara. Pada 6 Februari, mereka memasuki konflik bersenjata dengan polisi negara. Karena itulah adalah salah untuk menyebutkan meriam dan tank saat masalahnya adalah perjuangan bersenjata yang mendesak melawan kaum fasis. Kaum fasis tentu saja lebih kaya dibandingkan dengan kita. Lebih mudah bagi mereka untuk membeli senjata. Tetapi para pekerja jauh lebih banyak, lebih pandai, dan lebih total, saat mereka sadar akan sebuah kepemimpinan revolusioner yang tegas.

Sebagai tambahan dari sumber lain, para pekerja juga dapat mempersenjati diri dari biaya yang dikeluarkan oleh kaum fasis, yaitu dengan melucuti senjata mereka.
Ini merupakan salah satu bentuk perjuangan melawan kaum fasis. Saat gudang senjata para pekerja semakin penuh dengan senjata dari depo-depo kaum fasis, bank-bank dan trust-trust akan berlaku lebih hati-hati dalam membiayai persenjataan penjaga-penjaga mereka yang kejam. Otoritas-otoritas yang khawatir akan mulai mencegah untuk mempersenjatai kaum fasis agar tidak memberikan sumber-sumber tambahan senjata bagi para pekerja. Kita telah lama mengetahui bahwa hanya taktik revolusioner yang menghasilkan, sebagai efek samping, ‘perubahan-perubahan’ atau konsesi-konsesi dari pemerintah.

Tapi bagaimana untuk melucuti kaum fasis? Secara alami, tidak mungkin untuk melakukannya dengan artikel-artikel koran saja. Skuadron tempur harus dibentuk. Badan intelijen harus dibangun. Ribuan informan dan pembantu-pembantu yang baik akan membantu semuanya secara sukarela saat mereka menyadari bahwa masalah ini sudah ditangani secara serius oleh kita. Ini juga membutuhkan sebuah kehendak untuk aksi pekerja.

Tetapi senjata-senjata kaum fasis tentu saja bukanlah satu-satunya sumber yang ada. Di Prancis, terdapat lebih dari satu juta pekerja yang terorganisir. Secara umum, jumlah ini termasuk kecil. Tapi ini benar-benar cukup untuk dijadikan permulaan dalam organisasi milisi pekerja. Jika partai-partai dan organisasi-organisasi hanya mempersenjatai sepuluh dari anggotanya, itu sudah akan menjadi sebuah kekuatan bagi 100,000 orang. Tak ada yang meragukan bahwa jumlah sukarelawan yang akan maju ke depan dalam ‘front persatuan’ di masa depan untuk bergabung dalam milisi pekerja akan jauh melebihi jumlah itu. Kontribusi partai-partai dan organisasi-organisasi, kelompok-kelompok dan sumbangan-sumbangan sukarela, akan dalam tempo satu atau dua bulan mampu menjamin persenjataan dari 100,000 sampai 200,000 prajurit-prajurit kelas buruh. Massa fasis akan tenggelam dalam rasa takut. Seluruh perspektif pembangunan akan menjadi lebih menjanjikan.

Menjadikan ketiadaan senjata atau alasan-alasan obyektif lain untuk menjelaskan kenapa tidak ada usaha dalam menciptakan sebuah milisi sampai sekarang adalah usaha untuk membodohi diri sendiri dan orang lain. Halangan prinsipil – bisa dikatakan halangan satu-satunya– berakar pada karakter konservatif dan pasif para pemimpin organisasi-organisasi pekerja. Para pemimpin yang skeptis itu tidak mempercayai kekuatan kaum proletar. Mereka menaruh harapan mereka pada semua bentuk mukjizat-mukjizat dari atas dibandingkan memberikan wadah revolusioner bagi energi-energi yang berdenyut dari bawah. Pekerja sosialis harus memaksa pemimpin mereka untuk mewujudkan milisi pekerja secepatnya atau memberikan jalan kepada kekuatan-kekuatan yang lebih segar dan muda.

Sebuah pemogokan tidak bisa kita bayangkan jadinya tanpa propaganda dan agitasi. Juga tak bisa dibayangkan jika aksi massa diadakan tanpa penjagaan satuan pengamanan dari serikat pekerja yang, saat mereka mampu, menggunakan persuasi, tapi jika perlu, menggunakan paksaan. Pemogokan adalah bentuk paling mendasar dari perjuangan kelas yang selalu menggabungkan, dalam proporsi yang bervariasi, metode-metode ‘ideologis’ dengan metode-metode fisik. Perjuangan melawan fasisme secara mendasar merupakan perjuangan politis yang membutuhkan sebuah milisi seperti halnya aksi massa membutuhkan satuan pengamanan serikat pekerja. Pada dasarnya satuan itulah embrio dari lahirnya milisi pekerja. Seseorang yang mencoba menolak perjuangan fisik sama dengan menolak seluruh bentuk perjuangan, karena roh tak bisa hidup tanpa daging.
Mengikuti pandangan dari teoritikus militer terkemuka Clausewitz, perang adalah kelanjutan dari pertarungan politik dengan alat yang lain. Definisi ini sesuai sepenuhnya dengan perang sipil. Adalah keliru untuk membedakan perjuangan politik dan perjuangan bersenjata. Saat perjuangan politik, oleh sebab desakan kebutuhan didalam, mentransformasikan dirinya ke dalam perjuangan bersenjata, kita tak mungkin lagi bisa membagi keduanya.

Kewajiban partai revolusioner adalah untuk memprediksikan waktu di mana kita tak bisa lagi menolak transformasi politik kedalam konflik bersenjata secara terbuka, dan dengan seluruh kekuatan yang ada mempersiapkan diri untuk momen itu, seperti halnya yang dilakukan oleh kelas penguasa.

Detasemen-detasemen milisi pertahanan dalam melawan fasisme adalah langkah pertama dalam mempersenjatai kaum proletar, dan bukannya langkah terakhir. Slogan kita adalah:

“Persenjatai proletar dan petani-petani revolusioner!”

Milisi pekerja harus, pada analisa akhir, merangkul semua pekerja. Program ini hanya bisa dipenuhi di dalam negara pekerja yang menguasai semua alat produksi dan tentunya alat-alat pemusnah–antara lain, semua senjata beserta perusahaan-perusahaan yang memproduksinya.

Tapi, tidak mungkin kita membentuk negara para pekerja dengan tangan kosong. Hanya orang-orang politik invalid macam Renaudel yang membicarakan tentang jalan konstitusional dan damai menuju sosialisme. Jalan konstitusional telah terpotong-potong oleh parit-parit yang dibikin oleh kelompok fasis. Banyak parit-parit menghadang di depan kita. Kaum borjuis tak akan ragu-ragu untuk mengambil jalan kudeta dengan bantuan polisi dan militer demi mencegah kaum proletar menuju kekuasaan.

[Catatan: Pierre Renaudel (1871-1935): sebelum Perang Dunia I, tangan kanan pemimpin sosialis Jean Jaures dan editor dari l'Humanite. Selama perang, dia merupakan patriot sayap kanan. Pada dekade 30-an, dia dan Marcel Deat memimpin kaum revisionis yang bertendensi "neo-sosialis". Dikalahkan dalam konvensi Juli 1933, kecenderungan ini lepas dari partai Sosialis. Sesudah kerusuhan fasis pada 6 Februari 1934, kebanyakan dari kaum "neo" ini bergabung dengan partai Radikal, partai utama dalam kapitalisme Prancis.]

Sebuah negara sosialis para pekerja hanya bisa diwujudkan melalui revolusi yang berkemenangan.

Setiap revolusi dipersiapkan melalui pembangunan ekonomi dan politik, tapi selalu ditentukan oleh konflik bersenjata secara terbuka diantara kelas-kelas yang saling bertentangan. Sebuah kemenangan revolusioner dapat menjadi kenyataan sebagai hasil agitasi politik yang matang, periode pendidikan dan organisasi massa yang lama.
Konflik bersenjata sendiri harus dipersiapkan juga jauh sebelumnya. Pekerja-pekerja maju harus tahu bahwa mereka harus bertempur dan memenangkan sebuah perjuangan sampai mati. Mereka harus mendapatkan senjata, sebagai jaminan emansipasi mereka.